Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

World's Today

Selasa, 05 Januari 2010

Problem Pembajakan dalam Era Global

Acara peringatan Hari Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)) pada 26 april 2005 tampaknya menjadi momen yang sangat penting, terutama dikaitkan dengan masih maraknya aksi pembajakan dalam semua bidang (kaitan kekayaan intelektual). Indonesia kini juga lebih peduli terhadap HaKI. Paling tidak, indikasinya terlihat dari pemberlakuan UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pemberlakuaan UU ini pada 29 Juli 2003 lalu ternyata memicu kontroversi: apakah ini menjadi surga atau justru neraka bagi konsumen dan produsen?

Di tengah semangat untuk mencintai produk-produk dalam negeri, ada sentimen negatif menyatakan bahwa Indonesia adalah sarang pembajak, khususnya untuk software. Kasus ini memang sangat mencemaskan sebab aksi pembajakan di Indonesia telah merugikan negara sekitar 70-80 juta dolar AS per tahun. Bahkan yang lebih ironis, bahwa peredaran perangkat lunak asli atau legal yang beredar di Indonesia hanya sekitar 12 persen, sedang selebihnya merupakan produk bajakan. Hal ini bisa terus terjadi karena Indonesia punya nilai pangsa pasar software sekitar 101 juta dolar AS per tahun. Oleh karena itu, bagi para pembajak ini merupakan surga dan didukung oleh penegakan hukum terhadap kasus-kasus tersebut masih lemah. Sangat rasional jika pemberlakuan UU No 19 Tahun 2002 menjadi sangat dilematis dari sisi konsumen.

Komitmen

Mengacu fakta itu maka harus ada suatu upaya untuk meredam maraknya pembajakan, yaitu dengan penegakan HaKI. Caranya adalahdemham realisasi pelaksanaan UU No 19 Tahun 2002. Sayangnya, saat kita sedang berusaha untuk dapat meningkatkan kepedulian terhadap HaKI, ternyata justru tuduhan bahwa kita sebagai sarang pembajak makin kuat. Paling tidak, hal ini terkait dengan laporan USTR (United States Trade Representative) yang menetapkan kita sebagai negara berstatus priority watch list (PWL) dalam masalah perlindungan HaKI. Dengan status ini, USTR menilai Indonesia sebagai negara tidak memberi perlindungan yang memadai terhadap HaKI dan ini justru dianggap menyalahi prosedural ekonomi global. Lalu, bagaimana?

Dengan selesainya perundingan multilateral GATT (The General Agreement on Tariffs and Trade) di Putaran Uruguay (Uruguay Round), Desember 1993, telah lahir organisasi untuk mengurus aturan perdagangan intemasional, yaitu WTO (World Trade Organization). Selain terbentuknya WTO, kesepakatan lain yang didapat dalam Putaran Uruguay (yang kemudian diresmikan di Marakesh 1994 lalu) adalah persetujuan tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan perdagangan dan hak kekayaan intelektual atau Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

Indonesia telah meratifikasi persetujuan WTO melalui UU No 7 Tahun 1994. Dengan demikian, Indonesia terikat akan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh WTO, termasuk kesepakatan TRIPs. Oleh karena itu, ketika USTR mengeluarkan laporannya maka ini menjadi aspek tantangan tersendiri, terutama dikaitkan dengan komitmen TRIPs tersebut.

Secara eksplisit, laporan USTR mengenai perlindungan kekayaan intelektual (Report on Global Intellectual Property Protection) yang diumumkan di Washington 30 april 2002 lalu justru kembali mengingatkan kita atas tuduhan sebelumnya. Pada tahun 2001 lalu, USTR juga menempatkan Indonesia pada status PWL. Oleh karena itu, sangat beralasan jika status PWL menjadi ancaman tersendiri. Jadi, tuduhan PWL secara tak langsung menjadi cambuk untuk lebih membenahi HaKI, tidak saja dalam kerangka mikro, tetapi juga makro secara berkelanjutan. Bahkan, terkait seramnya tuduhan PWL maka beralasan jika banyak negara yang masuk dalam daftar ini kemudian mengajukan tuntutan untuk mengubah klasifikasi itu, misal dengan meminta untuk dirubah dari PWL menjadi WL.

Jika memang klaim atas tuduhan sarang pembajak (versi USTR) benar, lalu bagaimana konsekuensi yang harus diterima dan bagaimana komitmen jalinan bilateral multilateral, terutama dikaitkan dengan tantangan era global? Sebenarnya kalau kita mau jujur bahwa tuduhan tersebut tidak saja berasal dari laporannya USTR, tetapi juga dari International Intellectual Property Alliance (IIPA) yang dalam laporannya menegaskan bahwa bajak-membajak di Indonesia pada tahun 2000 lalu meningkat tajam yaitu mencapai 90 persen. Versi IIPA, bahwa problem pelanggaranan HaKI di Indonesia sepanjang 2000 lalu telah menjadi persoalan yang sangat kritis, pelik, dan cenderung meresahkan.

Terkait hal ini maka tidak heran bila dari pihak PT Microsoft Indonesia ikut risau karena banyaknya produk Microsoft yang dibajak. Bahkan, diakui bahwa produk andalannya Windows 95 (untuk operating system) adalah yang paling banyak dibajak sedangkan untuk produk aplikasi yang sering dibajak adalah Microsoft Office 97. Alasannya pun sederhana mengapa produk Microsoft banyak yang dibajak yaitu karena memang mudah untuk dibajak seperti floopy disk. Yang pasti para pembajak menganggap membajak itu sebagai cara mudah untuk bisa lebih menghasilkan uang (karena biayanya sedikit, tidak perlu membayar program, tak perlu mengeluarkan uang untuk riset dan pengembangan, bayar promosi dan sebagainya sehingga bisa dijual dengan harga murah).

Dominasi

Tentang kerugian yang diderita akibat pembajakan ini, Microsoft Indonesia tidak pernah mendapatkan datanya. Meskipun demikian bukan berarti kerugian itu tidak bisa dihitung dan menurut data dari studi yang dilakukan oleh BSA (Business Software Alliance) bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan akibat pembajakan piranti lunak (khusus untuk kasus di Indonesia) sekitar 197 juta dollar AS untuk semua perusahaan.

Meski Microsoft sendiri tidak menghitung langsung, tetapi tetap saja merasa dirugikan. Artinya, ada opportunity yang dihilangkan akibat tindakan yang dilakukan si pembajak. Kalau kita menggunakan data BSA, bahwa 97 persen piranti lunak di Indonesia adalah bajakan, berarti porsi kita cuma tiga persen, dan 97 persennya lainnya masuk ke kantong orang (pembajak). Dari proses wawancara lebih lanjut akhirnya diketahui bahwa salah satu faktor utama dari maraknya pembajakan software yaitu karena persepsi yang salah (terlepas dari niat awal memang membajak). Intinya, publik (yang murni tidak tahu) beranggapan bahwa kalau beli software itu menjadi miliknya. Padahal membeli software itu adalah membeli lisensi hak untuk menggunakan. Jadi, harus dibedakan antara membeli lisensi dengan membeli produk yang langsung bisa dikonotasikan sebagai milik hak pribadi.

Oleh karena itu, terkait dengan ketidaktahuan masyarakat dan juga urgensi untuk dapat menghargai HaKI sesuai aturan main era global, maka pemerintah berkompeten untuk memacu pembentukan suatu badan yang bertugas menangani penanggulangan kasus-kasus HaKI. Selanjutnya sejak 1995 dibentuk Badan Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta (BPPHC). Pembentukan ini merupakan suatu konsekuensi logis dari prosedur keikutsertaan kita dalam putaran Uruguay. Bahkan, sejak tahun 1974, Indonesia telah menjadi anggota World Intellectual Property Organization (WIPO).

Sayangnya lembaga ini tidak bisa berperan banyak. Paling tidak, ironisme ini bisa terlihat dari kondisi rendahnya jumlah pendaftaran untuk mendapatkan hak eksklusif dari pemerintah bagi mereka yang mempunyai karya, cipta, dan karsa untuk mendapat perlindungan hukum. Kondisi tersebut juga ditunjang dengan belum adanya institusi yang mengelola aset kekayaan intelektual secara profesional. Hal ini memang harus lebih dipacu agar nantinya bisa diminimalisasikan kasus-kasus yang terkait dengan HaKI.

Selain itu, pada 1994 lalu, pemerintah meratifikasi pembentukan WTO. Selain itu pada saat ini Indonesia telah mempunyai landasan hukum HaKI. Adapun peraturan perundangan HaKI dimaksud meliputi: UU tentang Hak Cipta (Copyright), Paten (Patent), Merek (Trademark), Desain Industri (Industrial Design), Rahasia Dagang (Trade Secret), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Design of Circuit Layout) dan Perlindungan Varietas Tanaman.

Peliknya problem HaKI dan juga kaitannya dengan laporan publikasi USTR serta aspek kerugian negara (dikaitkan pelaksanaan UU No 19 Tahun 2002) secara tidak langsung memberikan pelajaran yang sangat berharga pada kita. Oleh karena itu kasus perseteruan pembajakan yang terjadi antara Microsoft dengan empat dealer komputer di Jakarta beberapa waktu yang lalu (PN Jakarta Pusat akhirnya memenangkan Microsoft) menjadi suatu pembuktian bahwa pelanggaran hak cipta memang harus dihukum berat (adapun ganti ruginya mencapai sekitar 4.764.608 dolar AS). Jadi, ini memang kasus yang bisa menjadi contoh agar HaKI benar-benar dihargai dan tidak seenaknya dibajak. Meski demikian, toh bajak-membajak masih saja terjadi di Indonesia (bahkan disinyalir makin subur). Jadi, wajar jika kemudian USTR dan IIPA mengeluarkan suatu penegasan atas perilaku pembajakan di Indonesia dan akhirnya kita berpredikat PWL. Artinya, inikah bukti pembenar bahwa Indonesia adalah sarang pembajak? Lalu apakah UU No 19 Tahun 2002 menjadi macan ompong?


sumber : haki.lipi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar